Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap dengan Rapfish
Konsep
pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah menjadi agenda Internasional dalam
pertemuan komisi dunia untuk pembangunan dan lingkungan (WCED = World Commission on Environmental and Development) tahun
1987 dan telah dikonfirmasi oleh negara-negara di dunia menjadi prioritas
internasional dalam konvensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan (UNCED = United Nation Convention on Environment and Development, 1992). Kemudian dalam agenda 21 konsep tersebut dibahas
dalam Commission on Sustainable
Development (CSD) yang mengembangkan indikator pembangunan berkelanjutan
dalam skala yang beragam. Penekanan pada perikanan tangkap yang mempunyai
masalah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari menjadi prioritas utama (FAO,
2001). Alder et al. (2002) mengatakan bahwa sampai sekarang masih
terjadi diskusi yang hangat tentang istilah keberlanjutan (sustainability)
dan bagaimana cara mengukurnya. Namun demikian secara umum terdapat satu
kesepakatan bahwa keberlanjutan harus mencakup komponen ekologi, ekonomi,
sosial, teknologi dan etika.
Keberlanjutan
(sustainability) merupakan kata kunci bagi pembangunan perikanan di
seluruh dunia yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan
masyarakat perikanan itu sendiri (Charles, 2001; Fauzi dan Anna, 2002).
Perikanan tangkap berkelanjutan merupakan bagian dari kegiatan pembangunan
perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) merupakan suatu proses perubahan, dimana eksploitasi
sumberdaya, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah
suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa mendatang
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Menteri KLH/Bapedal, 1997, yang
dirujuk dalam Simbolon, 2003). Perman et al. (1996) mengelaborasi lebih
lanjut konseptual keberlanjutan dengan mengajukan lima alternatif pengertian,
yaitu: 1) suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika
utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi
tidak menurun sepanjang waktu (nondeclining consumption); 2)
keberlanjutan adalah kondisi di mana sumberdaya alam dikelola sedemikian rupa
untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang; 3) keberlanjutan
adalah kondisi di mana sumberdaya alam (natural capital stock) tidak
berkurang sepanjang waktu (non-declining); 4) keberlanjutan adalah
kondisi di mana sumberdaya alam dikelola untuk mempertahankan produksi
jasa sumberdaya alam; 5) keberlanjutan adalah kondisi di mana kondisi minimum
keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.
Dari
aspek ekonomi, menurut Munasinghe (1994) pembangunan berkelanjutan
bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia melalui pertumbuhan
ekonomi dan efisiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala
sumberdaya dan teknologi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya perencanaan
pembangunan secara komprehensif dengan tetap berpijak pada tujuan-tujuan
jangka panjang. Selain itu, perlu ada pengurangan eksploitasi sumberdaya
secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin timbul dari eksploitasi
sumberdaya dengan memberikan harga kepada sumberdaya dan biaya tambahan.
Konsep
pembangunan berkelanjutan oleh WCED (1987) dinyatakan sebagai
pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya. Penekanan
pembangunan dalam kontek ini berkaitan dengan kualitas hidup bukan pertumbuhan
ekonomi, walaupun kedua hal tersebut sangat berkaitan dalam sistem perekonomian
modern. Costanza (1991) mengemukakan bahwa definisi keberlanjutan yang sangat
berguna adalah tingkat konsumsi yang dapat dilanjutkan dalam waktu yang tidak
terbatas menurunkan capital stock.
Konsep
pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dalam konsep FAO (2001). Dimana pengelolaan
dan perlindungan sumberdaya alam yang diikuti dengan perubahan orientasi
teknologi dan kelembagaan dalam beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan
kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan
berusaha untuk melindungi tanah, air, tumbuhan serta sumberdaya genetis hewan,
yang tidak menurunkan kualitas lingkungan di mana secara teknis tepat, secara
ekonomis berguna, dan secara sosial dapat diterima.
Pembangunan
yang berkelanjutan sesuai Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan
adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan
kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi
lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, secara ekologis terdapat
empat persyaratan utama yang dapat menjamin tercapainya pembangunan
berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan: (1) keharmonisan spasial,
(2) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang
limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, dan (4) mendesain dan
membangun prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika
ekosistem pesisir dan lautan (Dahuri dkk,
2001). Ketika kita memanfaatkan wilayah (perairan) pesisir sebagai tempat untuk
pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah
tersebut tidak boleh melebihi kapasitas asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya
asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima jumlah limbah
tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau
kesehatan yang tidak dapat ditoleransi.
Kerangka
pendekatan hukum (legal framework) prinsip-prinsip pengelolaan
sumberdaya perikanan sebenarnya telah terdapat dalam UNCLOS (1982) dan FAO
Code of Conduct for Responsible Fisheries, 1995 (FAO, 2001). Beberapa
pertimbangan diperlukannya pembangunan perikanan berkelanjutan di antaranya
meliputi :
1)
Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan dan aktivitas pengolahannya harus didasarkan pada ekosistem
kelautan tertentu dan teridentifikasi dengan baik.
2)
Memelihara daya dukung sumberdaya
terhadap aktivitas pemanfaatan dalam jangka panjang.
3)
Menghidupi tenaga kerja dalam bidang
perikanan dalam masyarakat yang lebih luas.
4)
Memelihara tingkat kesehatan dan
kesatuan ekosistem kelautan untuk pemanfaatan yang lain, termasuk di dalamnya
keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan, nilai intrinsik, struktur tropis dan
kegunaan ekonomi lainnya seperti pariwisata dan rekreasi.
Tujuan
dari pembangunan berkelanjutan akan sejalan dengan tujuan pembangunan perikanan
seperti misalnya memelihara stok sumberdaya perikanan dan melindungi
habitatnya. Namun demikian mengelola sumberdaya perikanan untuk pembangunan
yang berkelanjutan bersifat multi dimensi dan aktivitas bertingkat (multilevel
activities), yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan
dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri (FAO, 2001).
McGoodwin
(1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis sumberdaya perikanan, konsekuensi
sosial dan ekonomi harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknis
dan etika. Alder et al. (2000) menyatakan bahwa tantangan bagi
pengelolaan perikanan adalah menilai keberlanjutan sumberdaya tersebut dengan
pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu mengintegrasikan beberapa
aspek yang beragam tersebut. FAO telah mengembangkan beberapa contoh kriteria
untuk masing-masing dimensi dalam Sustainable Development Reference System (SDRS).
Konsep
keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat difahami, namun sampai saat
ini masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis/mengevaluasi keberlanjutan
pembangunan perikanan itu sendiri terutama ketika dihadapkan pada permasalahan
mengintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen secara holistik dari
berbagai aspek seperti aspek biologi, sosial, ekonomi, teknologi maupun etika
(Fauzi dan Anna, 2002). Oleh karena evaluasi keberlanjutan eksploitasi
perikanan selama ini lebih difokuskan kepada penentuan status stok relatif dari
spesies target dengan referensi biologi atau pada beberapa kasus adalah
referensi ekologi seperti tingkat kematian ikan, spawning biomass atau
struktur umur. Dengan demikian analisis yang diaplikasikan dalam berbagai studi
tersebut masih bersifat parsial.
Taryono
(2003) menyatakan bahwa secara klasik ahli biologi perikanan cenderung menitikberatkan pada dinamika populasi dan eksploitasi.
Hubungan antara analisis biologis dengan ilmu sosial hanya terjadi pada akhir
proses produksi di mana ikan didaratkan di pelabuhan. Ahli ekonomi selanjutnya
cenderung menghitung secara kuantitatif maupun kualitatif, melalui pengangkutan
dan pemasaran. Hal ini menggambarkan bahwa pengkajian keberlanjutan perikanan
belum menerapkan analisis terpadu yang komprehensif terhadap berbagai dimensi
yang mempengaruhi kegiatan perikanan tersebut. Hal ini memberikan kesan seolah-olah
tidak ada keterkaitan antara keberlanjutan sumberdaya dengan keberlanjutan
sosial atau keberlanjutan ekonomi.
Menurut Monintja
dan Yusfiandayani (2001), pengelolaan perikanan tangkap yang sukses haruslah
menunjukkan karakteristik usaha penangkapan yang berkelanjutan, yakni :
1)
Proses penangkapan ramah lingkungan
Yang ditunjukkan
dengan a) hasil tangkapan sampingan rendah (by catch minimum), b) hasil
tangkapan terbuang minim, c) tidak membahayakan keanekaragaman hayati, d) tidak
menangkap jenis ikan yang dilindungi, e) tidak membahayakan habitat, f) tidak
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target, g) tidak membahayakan
keselamatan dan kesehatan nelayan, h) memenuhi ketentuan Code of Conduct for
Responsible Fisheries.
2)
Volume produksi tidak berfluktuasi
drastis (supply tetap).
3)
Pasar (buyers) tetap/terjamin.
4)
Usaha penangkapan masih menguntungkan.
5)
Tidak menimbulkan friksi sosial.
6)
Memenuhi persyaratan legal
Salah
satu alternatif pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian ini untuk
mengevaluasi/menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap adalah Rapfish (Rapid Apraisal for Fisheries). Tehnik
ini baru dikembangkan oleh University of
British Columbia Canada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner. Pada metode ini,
analisis terhadap semua dimensi dilakukan secara bersamaan atau simultan
sehingga dihasilkan suatu vektor skala. Dengan Rapfish dapat diperoleh gambaran jelas dan komprehensif mengenai
kondisi sumberdaya perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian sehingga
akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk
mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
Menurut
Taryono (2003) berbagai hasil empiris analisis kelestarian sumberdaya dengan
aplikasi Rapfish, diantaranya telah
dilakukan oleh Pitcher and Preikshot
(2000), serta Fauzi dan Anna (2002). Hasil analisis terhadap perikanan Atlantik
Utara (sisi Barat dan sisi Timur). Didapatkan bahwa Perikanan Teluk Meine
(Amerika Serikat) mempunyai indikator kelestarian sosial dan teknis yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perikanan Kanada, Inggris, maupun Jerman.
Hasil
aplikasi pendekatan Rapfish pada
perikanan laut di DKI Jakarta dan pertama kali di Indonesia yang dilakukan oleh
Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan bahwa dari dua belas jenis alat tangkap yang
dianalisis disimpulkan bahwa alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing,
berdasarkan indikator kelestarian ekologi berada diantara good dan bad,
tetapi secara sosial dan ekonomi cenderung ke arah bad score. Sebaliknya
pada perikanan aktif secara teknologi dan ekologi mempunyai skor buruk (bad
score), tetapi sebaliknya secara ekonomis dan sosial cenderung ke arah baik
(good).
Fauzi
dan Anna (2005) menyimpulkan bahwa dari sisi ekologi, alat tangkap yang
beroperasi di luar Teluk Jakarta cenderung memiliki skor keberlanjutan relatif
lebih rendah, sebab alat tangkap aktif cenderung menimbulkan masalah ekologi,
seperti by catch, non selective, dan catch before maturity.
Sebaliknya, alat tangkap yang beroperasi di dalam Teluk Jakarta cenderung pasif
dan lebih bersifat selektif dan tradisional, sehingga tidak terlalu destruktif.
Namun skor keberlanjutan ekonomi antara perikanan di luar teluk dan di dalam
teluk menunjukkan bahwa perikanan di dalam Teluk Jakarta cenderung memiliki
skor sustainability rendah. Hasil analisis leverage untuk menguji
sensitivitas atribut untuk setiap dimensi terhadap skor kelestarian perikanan
pesisir Jakarta diperoleh bahwa marketable right, employment sector dan
other income mempunyai derajat kepekaan yang tinggi. Sementara
pada dimensi sosial, maka tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan serta fishing
income mempunyai derajat yang penting dalam mempengaruhi tingkat
kelestarian sumberdaya perikanan tersebut. Sementara secara teknis (teknologi)
atribut selective gear mendominasi atribut lainnya dalam mempengaruhi
tingkat kelestarian tersebut. Sedangkan pada dimensi etika, keterlibatan
nelayan dalam penentuan kebijakan (just management) sangat nyata
mempengaruhi nilai kelestarian tersebut.
Daftar Pustaka
Charles, T. 2001. Sustainable
Fisheriy System. Blackwell Science.UK.
Costanza, R. 1991. The
Ecological Economic of Sustainability: Investing in Natural Capital. In: R.
Goodland, H.Daily, S.L. Serafy and B.von Droste (Editors). Environmentally
Sustainable Economic Development : Building on Brundtlund. UNESCO, Paris :
83-90.
FAO. 2001. Indicators for
Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. FAO Technical
Guidelines for Responsible Fisheries. No. 08 Food and Agriculture Organization
(FAO) Rome.
____.1999. Rapfish; A Rapid Appraisal
Technique for Fisheries, And ist Application To The Code of Conduct For
Responsible Fisheries.Rome.
____.1995.
The Code of Conduct for Responsible
Fisheries. FAO of The United Nations.Rome.
____.1995. Indicators of Sustainable Development
Guidelines and Methodologies.
New York.
Fauzi, A and E. Buchary. 2002. A
Socio-economic Perspective of environmental degradation at Kepulauan Seribu
National Park, Indonesia. Coastal
Management Journal Vol 30(2). 167-181.
Fauzi, A. dan S.Anna. 2002. Evaluasi
Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi
Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4 (3). pp:
43-55.
Fauzi, A dan S.Anna. 2005. Pemodelan
Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi, A. dan S.Anna. 2002. Evaluasi
Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi
Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4 (3). pp:
43-55.
Monintja, D dan Yusfiandayani. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang
Perikanan Tangkap. Proseding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
Bogor.
McGoodwin, J. 990. Crisis in
the World Fisheries: People Problems and Policies. Stanford University
Press, Stanford.
Munasinghe, M. 1994. The
Economic Approach to Sustainable Development dalam Making Development
Sustainable. From Concept to Action, Environmentally Sustainable
Development Occasional. Paper Series No.2. The World Bank, Washington DC. USA.
Perman, R., Yue Ma, and J.McGilvray. 1996. Natural Resource and Environmental Economics. Longman, Singapore.
Simbolon, D. 2003. Pengembangan Perikanan Pole and
Line yang Berkelanjutan di Perairan Sorong: Suatu Pendekatan Sistem. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor. 153 hal
Taryono, K. 2003. Analisis
Ekonomi Kelestarian Sumberdaya Perikanan Laut Pantai Utara Jawa. Disertasi.
Program Pascasarjana IPB.Tidak dipublikasikan
Undang-Undang No.45 tahun 2009.
Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Jakarta
WCED.
1987. Our Common Future. Oxford University Press, Oxford.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar