Senin, 18 April 2016

Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap dengan Rapfish

Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap dengan Rapfish

Keberlanjutan Perikanan Tangkap


Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah menjadi agenda Internasional dalam pertemuan komisi dunia untuk pembangunan dan lingkungan (WCED = World Commission on Environmental and Development) tahun 1987 dan telah dikonfirmasi oleh negara-negara di dunia menjadi prioritas internasional dalam konvensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan (UNCED = United Nation Convention on Environment and Development, 1992). Kemudian dalam agenda 21 konsep tersebut dibahas dalam Commission on Sustainable Development (CSD) yang mengembangkan indikator pembangunan berkelanjutan dalam skala yang beragam. Penekanan pada perikanan tangkap yang mempunyai masalah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari menjadi prioritas utama (FAO, 2001). Alder et al. (2002) mengatakan bahwa sampai sekarang masih terjadi diskusi yang hangat tentang istilah keberlanjutan (sustainability) dan bagaimana cara mengukurnya. Namun demikian secara umum terdapat satu kesepakatan bahwa keberlanjutan harus mencakup komponen ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika.
Keberlanjutan (sustainability) merupakan kata kunci bagi pembangunan perikanan di seluruh dunia yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri (Charles, 2001; Fauzi dan Anna, 2002). Perikanan tangkap berkelanjutan merupakan bagian dari kegiatan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) merupakan suatu proses perubahan, dimana eksploitasi sumberdaya, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Menteri KLH/Bapedal, 1997, yang dirujuk dalam Simbolon, 2003). Perman et al. (1996) mengelaborasi lebih lanjut konseptual keberlanjutan dengan mengajukan lima alternatif pengertian, yaitu: 1) suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (nondeclining consumption); 2) keberlanjutan adalah kondisi di mana sumberdaya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang; 3) keberlanjutan adalah kondisi di mana sumberdaya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non-declining); 4) keberlanjutan adalah kondisi di mana sumberdaya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumberdaya alam; 5) keberlanjutan adalah kondisi di mana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (resilience) ekosistem terpenuhi.
Dari aspek ekonomi, menurut Munasinghe (1994) pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia melalui pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaya dan teknologi. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya perencanaan pembangunan secara komprehensif dengan tetap berpijak pada tujuan-tujuan jangka panjang. Selain itu, perlu ada pengurangan eksploitasi sumberdaya secara berlebihan dan menutupi dampak yang mungkin timbul dari eksploitasi sumberdaya dengan memberikan harga kepada sumberdaya dan biaya tambahan.
Konsep pembangunan berkelanjutan oleh WCED (1987) dinyatakan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya. Penekanan pembangunan dalam kontek ini berkaitan dengan kualitas hidup bukan pertumbuhan ekonomi, walaupun kedua hal tersebut sangat berkaitan dalam sistem perekonomian modern. Costanza (1991) mengemukakan bahwa definisi keberlanjutan yang sangat berguna adalah tingkat konsumsi yang dapat dilanjutkan dalam waktu yang tidak terbatas menurunkan capital stock.
Konsep pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dalam konsep FAO (2001). Dimana pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam yang diikuti dengan perubahan orientasi teknologi dan kelembagaan dalam beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk melindungi tanah, air, tumbuhan serta sumberdaya genetis hewan, yang tidak menurunkan kualitas lingkungan di mana secara teknis tepat, secara ekonomis berguna, dan secara sosial dapat diterima.
Pembangunan yang berkelanjutan sesuai Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, secara ekologis terdapat empat persyaratan utama yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan: (1) keharmonisan spasial, (2) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, dan (4) mendesain dan membangun prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir dan lautan (Dahuri dkk, 2001). Ketika kita memanfaatkan wilayah (perairan) pesisir sebagai tempat untuk pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitas asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi.
Kerangka pendekatan hukum (legal framework) prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan sebenarnya telah terdapat dalam UNCLOS (1982) dan FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, 1995 (FAO, 2001). Beberapa pertimbangan diperlukannya pembangunan perikanan berkelanjutan di antaranya meliputi :
1)        Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan aktivitas pengolahannya harus didasarkan pada ekosistem kelautan tertentu dan teridentifikasi dengan baik.
2)        Memelihara daya dukung sumberdaya terhadap aktivitas pemanfaatan dalam jangka panjang.
3)        Menghidupi tenaga kerja dalam bidang perikanan dalam masyarakat yang lebih luas.
4)        Memelihara tingkat kesehatan dan kesatuan ekosistem kelautan untuk pemanfaatan yang lain, termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan, nilai intrinsik, struktur tropis dan kegunaan ekonomi lainnya seperti pariwisata dan rekreasi.
Tujuan dari pembangunan berkelanjutan akan sejalan dengan tujuan pembangunan perikanan seperti misalnya memelihara stok sumberdaya perikanan dan melindungi habitatnya. Namun demikian mengelola sumberdaya perikanan untuk pembangunan yang berkelanjutan bersifat multi dimensi dan aktivitas bertingkat (multilevel activities), yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri (FAO, 2001).
McGoodwin (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis sumberdaya perikanan, konsekuensi sosial dan ekonomi harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknis dan etika. Alder et al. (2000) menyatakan bahwa tantangan bagi pengelolaan perikanan adalah menilai keberlanjutan sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu mengintegrasikan beberapa aspek yang beragam tersebut. FAO telah mengembangkan beberapa contoh kriteria untuk masing-masing dimensi dalam Sustainable Development Reference System (SDRS).
Konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat difahami, namun sampai saat ini masih menghadapi kesulitan dalam menganalisis/mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri terutama ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen secara holistik dari berbagai aspek seperti aspek biologi, sosial, ekonomi, teknologi maupun etika (Fauzi dan Anna, 2002). Oleh karena evaluasi keberlanjutan eksploitasi perikanan selama ini lebih difokuskan kepada penentuan status stok relatif dari spesies target dengan referensi biologi atau pada beberapa kasus adalah referensi ekologi seperti tingkat kematian ikan, spawning biomass atau struktur umur. Dengan demikian analisis yang diaplikasikan dalam berbagai studi tersebut masih bersifat parsial.
Taryono (2003) menyatakan bahwa secara klasik ahli biologi perikanan cenderung menitikberatkan pada dinamika populasi dan eksploitasi. Hubungan antara analisis biologis dengan ilmu sosial hanya terjadi pada akhir proses produksi di mana ikan didaratkan di pelabuhan. Ahli ekonomi selanjutnya cenderung menghitung secara kuantitatif maupun kualitatif, melalui pengangkutan dan pemasaran. Hal ini menggambarkan bahwa pengkajian keberlanjutan perikanan belum menerapkan analisis terpadu yang komprehensif terhadap berbagai dimensi yang mempengaruhi kegiatan perikanan tersebut. Hal ini memberikan kesan seolah-olah tidak ada keterkaitan antara keberlanjutan sumberdaya dengan keberlanjutan sosial atau keberlanjutan ekonomi.
Menurut Monintja dan Yusfiandayani (2001), pengelolaan perikanan tangkap yang sukses haruslah menunjukkan karakteristik usaha penangkapan yang berkelanjutan, yakni :
1)        Proses penangkapan ramah lingkungan
Yang ditunjukkan dengan a) hasil tangkapan sampingan rendah (by catch minimum), b) hasil tangkapan terbuang minim, c) tidak membahayakan keanekaragaman hayati, d) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, e) tidak membahayakan habitat, f) tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target, g) tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan, h) memenuhi ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries.
2)        Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (supply tetap).
3)        Pasar (buyers) tetap/terjamin.
4)        Usaha penangkapan masih menguntungkan.
5)        Tidak menimbulkan friksi sosial.
6)        Memenuhi persyaratan legal
Salah satu alternatif pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi/menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap adalah Rapfish (Rapid Apraisal for Fisheries). Tehnik ini baru dikembangkan oleh University of British Columbia Canada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner. Pada metode ini, analisis terhadap semua dimensi dilakukan secara bersamaan atau simultan sehingga dihasilkan suatu vektor skala. Dengan Rapfish dapat diperoleh gambaran jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
Menurut Taryono (2003) berbagai hasil empiris analisis kelestarian sumberdaya dengan aplikasi Rapfish, diantaranya telah dilakukan oleh Pitcher and Preikshot (2000), serta Fauzi dan Anna (2002). Hasil analisis terhadap perikanan Atlantik Utara (sisi Barat dan sisi Timur). Didapatkan bahwa Perikanan Teluk Meine (Amerika Serikat) mempunyai indikator kelestarian sosial dan teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan Kanada, Inggris, maupun Jerman.
Hasil aplikasi pendekatan Rapfish pada perikanan laut di DKI Jakarta dan pertama kali di Indonesia yang dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan bahwa dari dua belas jenis alat tangkap yang dianalisis disimpulkan bahwa alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing, berdasarkan indikator kelestarian ekologi berada diantara good dan bad, tetapi secara sosial dan ekonomi cenderung ke arah bad score. Sebaliknya pada perikanan aktif secara teknologi dan ekologi mempunyai skor buruk (bad score), tetapi sebaliknya secara ekonomis dan sosial cenderung ke arah baik (good).
Fauzi dan Anna (2005) menyimpulkan bahwa dari sisi ekologi, alat tangkap yang beroperasi di luar Teluk Jakarta cenderung memiliki skor keberlanjutan relatif lebih rendah, sebab alat tangkap aktif cenderung menimbulkan masalah ekologi, seperti by catch, non selective, dan catch before maturity. Sebaliknya, alat tangkap yang beroperasi di dalam Teluk Jakarta cenderung pasif dan lebih bersifat selektif dan tradisional, sehingga tidak terlalu destruktif. Namun skor keberlanjutan ekonomi antara perikanan di luar teluk dan di dalam teluk menunjukkan bahwa perikanan di dalam Teluk Jakarta cenderung memiliki skor sustainability rendah. Hasil analisis leverage untuk menguji sensitivitas atribut untuk setiap dimensi terhadap skor kelestarian perikanan pesisir Jakarta diperoleh bahwa marketable right, employment sector dan other income mempunyai derajat kepekaan yang tinggi. Sementara pada dimensi sosial, maka tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan serta fishing income mempunyai derajat yang penting dalam mempengaruhi tingkat kelestarian sumberdaya perikanan tersebut. Sementara secara teknis (teknologi) atribut selective gear mendominasi atribut lainnya dalam mempengaruhi tingkat kelestarian tersebut. Sedangkan pada dimensi etika, keterlibatan nelayan dalam penentuan kebijakan (just management) sangat nyata mempengaruhi nilai kelestarian tersebut.

Daftar Pustaka
Charles, T. 2001. Sustainable Fisheriy System. Blackwell Science.UK.
Costanza, R. 1991. The Ecological Economic of Sustainability: Investing in Natural Capital. In: R. Goodland, H.Daily, S.L. Serafy and B.von Droste (Editors). Environmentally Sustainable Economic Development : Building on Brundtlund. UNESCO, Paris : 83-90.
FAO. 2001. Indicators for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 08 Food and Agriculture Organization (FAO) Rome.
____.1999. Rapfish; A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, And ist Application To The Code of Conduct For Responsible Fisheries.Rome.
____.1995. The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO of The United Nations.Rome.
­­____.1995. Indicators of Sustainable Development Guidelines and Methodologies. New York.
Fauzi, A and E. Buchary. 2002. A Socio-economic Perspective of environmental degradation at Kepulauan Seribu National Park, Indonesia. Coastal Management Journal Vol 30(2). 167-181.
Fauzi, A. dan S.Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4 (3). pp: 43-55.
Fauzi, A dan S.Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi, A. dan S.Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4 (3). pp: 43-55.
Monintja, D dan Yusfiandayani. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Proseding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor.
McGoodwin, J. 990. Crisis in the World Fisheries: People Problems and Policies. Stanford University Press, Stanford.
Munasinghe, M. 1994. The Economic Approach to Sustainable Development dalam Making Development Sustainable. From Concept to Action, Environmentally Sustainable Development Occasional. Paper Series No.2. The World Bank, Washington DC. USA.
Perman, R., Yue Ma, and J.McGilvray. 1996. Natural Resource and Environmental Economics. Longman, Singapore.
Simbolon, D. 2003. Pengembangan Perikanan Pole and Line yang Berkelanjutan di Perairan Sorong: Suatu Pendekatan Sistem. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor. 153 hal
Taryono, K. 2003. Analisis Ekonomi Kelestarian Sumberdaya Perikanan Laut Pantai Utara Jawa. Disertasi. Program Pascasarjana IPB.Tidak dipublikasikan
Undang-Undang No.45 tahun 2009. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta
WCED. 1987. Our Common Future. Oxford University Press, Oxford.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar